CIRI PERPLONCOAN DAN CARA MENGATASINYA


CIRI PERPLONCOAN DAN CARA MENGATASINYA

PERPLONCOAN DI INDONESIA

Hampir disetiap negara, atau mungkin hampir disetiap sudut tempat berkumpul, resmi maupun tidak resmi, hal berbau perpeloncoan kerap terjadi. Di Indonesia masih belum seberapa parah, tapi setidaknya di Amerika Serikat, hal tersebut tidak hanya berlangsung ketika masa orientasi siswa baru, bahkan berlangsung hingga si siswa/siswi tersebut keluar sekolah. Tapi walaupun peristiwanya berbeda, namun konteksnya sebenarnya sama persis juga terjadi di Indonesia. Yang saya tahu, kalau di Indonesia, tindakan perpeloncoan sering terjadi dalam 3 hal. Pertama terjadi saat Orientasi peserta didik baru, yang biasanya disebut MOS/OSPEK. Kedua saat kita masuk kegiatan luar sekolah resmi, biasanya disebut DIKLAT, dan yang terakhir biasanya terjadi saat kita masuk perkumpulan atau genk.

ASAL MULA SEMUA HAL BERBAU PERPLONCOAN

Hampir semua dia antara kita pernah mengalami penindasan, bahkan bila kita sendiri adalah penindas itu. Sebenarnya, para penindas dalam hal perploncoan belajar menindas dari perilaku yang mereka terima dari orang-orang yang lebih dewasa, besar, dan berkuasa dari kehidupan mereka. Bahkan hampir mayoritas penindas dalam konteks perploncoan di Indonesia adalah mantan korban.

STANDAR GANDA

Budaya kita memandang PERPLONCOAN sebagai hal yang menyenangkan dan menarik. Sebenarnya kita harus mempertanyakan alasan mengapa menindas orang lain baik berupa mental maupun fisik dapat diebut menyenangkan. Sebenarnya kita telah menerapkan standar ganda ketika memberi tahu anak-anak/anak/remaja kita agar jangan menindas teman saat bermain atau dalam sebuah perkumpulan. Namun alih-alih demikian, kita tetap mendorong atau setidaknya menoleransi perploncoan dan menyebut PERPLONCOAN sebagai pembentukan karakter dan hanya bagian dari proses pendewasaan.

SK MENTERI YANG MELARANG TINDAKAN PERPLONCOAN

Sebenarnya ada peraturan yang melarang kegiatan inI. Berdasar SK DIKTI No. 33 tahun 2000 tentang peraturan kegiatan mahasiswa baru, bahwa orientasi mahasiswa baru hanya boleh dilaksanakan dalam kerangka akademik yang dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi dan surat edaran DIKTI No. 3120 tahun 2007 tentang penegasan kembali pelarangan perploncoan pada orientasi mahasiswa baru, maka kegiatan yang berunsur perpeloncoan tidak akan terjadi.

CIRI PERPLONCOAN DAN CALON KORBAN

Setidaknya Diklat, MOS, OSPEK, dan Hal lain yang berbau demikian, memiliki kesamaan unsur dan dapat diklasifikasikan sebagai PERPLONCOAN jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Perploncoan memiliki unsur penindasan.

2. Penindasan perploncoan dapat terjadi karena ketidakseimbangan kekuasaan.

3. Adanya niat untuk melukai, baik secara mental maupun fisik.

4. Si penindas merasa bahwa tindakan tersebut adalah lelucon dan bagian dari permainan.

Sedangkan calon korban atau korban yang paling potensial terlukai secara emosional atau fisik dan menjadi sasaran empuk penindasan saat perploncoan adalah sevagai berikut:

1. Anak baru dilingkungan itu (sekolah, kelompok permainan, kegiatan extrakulikuler.

2. Anak termuda di sekolah –Penindasan sering terjadi pada siswa/siswi baru di SMA/SMP.

3. Anak yang penurut

4. Anak yang bermental lemah

5. Anak yang pernah mengalami trauma

6. Perempuan

AKIBAT DARI PERPLONCOAN

Pada gilirannya, hal ini akan mempersulit anak dan remaja untuk mengembangkan empati, kasih sayang, dan pengambilan prespekif tentang penempatan diri dalam penderitaan orang lain.

HAL INI AKAN TERUS TERJADI, JIKA KITA HANYA BERPERAN SEBAGAI PENONTON..

                Hal tersebuk akan terus terjadi, kecuali adanya sanksi bagi penindas. Hal tersebut akan terus terjadi  dikarenakan rusaknya sistem kendali-kendali batin,  Berkurangnya perasaan bersalah dan pembiaran pasif turut memperkuat  stereotip pembiaran dan pembenaran akan hal yang berbau perploncoan.

Yang sering terjadi adalah kebanyakan dari kita hanya duduk sebagai penonton. Kita sebagai penonton. Hal tersebut akan menginfeksi orang lain, bahkan akan memepengaruhi orang lain untuk tetap menjadi penonton. Penonon cenderung untuk menyingkir dari hal itu, tidak mampu atau enggan untuk berbuat apa-apa untuk mengatasi hal yang berbau PERPLONCOAN.

Dengan menjadi penonton, setidaknya kita telah mengikis harga diri kita sendiri. Mereka aau bahkan kita sebagai penonton tidak bisa mengalahkan rasa takut dan mengabaikan fakta bahwa dengan tidak melakukan apa-apa berarti tanggung jawab moral kita terhadap teman sebaya, dan mungkin nantinya terhadap lingkungan yang ditinggalinya.

Sumber Inspirasi dari Buku:

Coloraso, Barbara,. 2004. STOP BULLYING (The Bully, The Bullied, and The Bystander: From Parent School to The High School). New York Inc.

About @arghyand

interested in sustainable living

Posted on Agustus 24, 2012, in Education, Opinion, Social and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. 5 Komentar.

  1. Mari Dukung Stop Bullying in Education for Indonesia. Support kami pada Halaman Stop Bullying in Education for Indonesia Facebook

    Suka

  2. Itukan kan menurut sudut pandang kalian…
    Jika Perguruan Tinggi Seni yang memang membutuhkan pembekalan & penggemblengan mental, kira-kira seperti apa batasan kegiatannya, jika hal tersebut dianggap sebagai tindakan perploncoan???

    Suka

    • kita liat dulu materi dari yang di berikan dan di ikuti Mahasiswa nya apa…?
      apakah pengenalan harus dengan cara yng menyimpang dari edukasi. Apapun Perguruan Tingginya tetap tidak boleh ada perploncoan.

      Suka

  3. ini dibuat tahun berapa ka

    Suka

Tinggalkan komentar