SURVEY DAN ANALISA KEBERLANJUTAN PENGGUNAAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR TEMBAKAU DARK FIRED CURED  DARI HUTAN WONOGIRI TAHUN 2018

Hasil

Hasil survey keterlusuran kayu adalah sebagai berikut

Jenis :

Terdapat 5 jenis kayu yang digunakan, yaitu Kayu Akasia (Acacia mangium), Kayu Trembesi (Albizia salman), Kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia) Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni) dan Kayu Jati (Tectona grandis).

Menurut informasi dari petani, harga kayu adalah sebegai berikut :

Kondisi Cuaca

Kebutuhan per 5 Ton Tembakau Basah Jenis Kayu Harga
Bulan Basah (curah hujan > 100 mm) 6 – 7 Kubik Kayu Akasia dengan campuran Mahoni ± Rp 1500,000 / 6 kubik
Kering (curah hujan< 60 mm) 5 – 6  Kubik Kayu Akasia dengan campuran Mahoni ± Rp 1500,000 / 6 kubik

Petani lebih cenderung menggunakan Kayu Akasia karena memiliki daya bakar yang lebih tinggi ketimbang Kayu Mahoni. Kayu Akasia menjadi favorit petani untuk digunakan, dengan campuran Kayu Mahoni atau Kayu Sonokeling. Lebih lanjut, Kayu Trembesi dan Kayu Jati juga terkadang digunakan namun kayu tersebut kurang diminati karena beberapa hal : (1). Kayu Trembesi memiliki kadar air yang tinggi (2) Kayu Jati mahal dan petani DFC hanya mendapatkan dari sisa-sisa bahan mebel.

Sumber Kayu :

Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa sumber kayu bahan bakar proses pengeringan DFC adalah dari dua wilayah yaitu Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Petani mendapatkan kayu dari para supir truk kayu yang memiliki relasi dengan tengkulak kayu di dua wilayah tersebut diatas. Menurut petani, di kayu yang dibeli oleh para supir truk sudah terjajar dan tersedia di pinggir jalan (tidak masuk sampai ke hutan).

Detail hasil wawancara sumber kayu adalah sebagai berikut :

Kabupaten Kecamatan / Daerah
Kabupaten Gunungkidul Gunungkidul bagian Timur (yang berdekatan dengan Kab. Wonogiri
Kabupaten Wonogiri Desa, Pandeyan, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri
Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri
Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri

Terdapat Data Peta Hutan Kabupaten Wonogiri dari Kementrian PU tahun 2011 sebagai berikut :

Menurut RPJM Daerah Kabupaten Wonogiri (Peraturan Daerah no 11 Tahun 2011), pada tahun 2010, kawasan hutan di Kabupaten Wonogiri mencangkup sekitar 32% dari luas kabupaten tersebut dengan rincian sebagai berikut :

  1. Hutan Lindung : 3.928 Ha
  2. Hutan Produksi Tetap : 11.450 Ha
  3. Hutan Produksi Terbatas : 7.943 Ha
  4. Hutan Rakyat : 36.293 Ha

Namun pada RTRW Daerah Kabupaten Wonogiri untuk tahun 2011 – 2031 (Peraturan Daerah no 9 Tahun 2011) ditetapkan 5 tipe kawasan hutan di Kabupaten Wonogiri sebagai berikut :

Kawasan cagar alam geologi seluas kurang lebih 23.977 Ha

Kecamatan Eromoko, Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Giritontro, Kecamatan Paranggupito, Kecamatan Giriwoyo

Kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 11.512 Ha

Kecamatan Manyaran, Kecamatan Selogiri, Kecamatan Wonogiri, Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Sidoharjo, Kecamatan Ngadirojo, Kecamatan Tirtomoyo, Kecamatan Jatiroto, Kecamatan Slogohimo, Kecamatan Kismantoro, Kecamatan Purwantoro;

Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana seluas kurang lebih 1.158 Ha

Kecamatan Wonogiri, Kecamatan Selogiri, Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Sidoharjo, Kecamatan Jatiroto, Kecamatan Slogohimo, Kecamatan Kismantoro, Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Eromoko.

Kawasan hutan produksi terbatas seluas kurang lebih 7.367 Ha

Kecamatan Wonogiri, Kecamatan Nguntoronadi, Kecamatan Sidoharjo, Kecamatan Tirtomoyo, Kecamatan Jatiroto, Kecamatan Slogohimo, Kecamatan Kismantoro, Kecamatan Purwantoro, Kecamatan Batuwarno, Kecamatan Karangtengah, Kecamatan Giriwoyo, Kecamatan Baturetno, Kecamatan Giritontro, Kecamatan Pracimantoro, Kecamatan Eromoko, Kecamatan Wuryantoro

Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat seluas kurang lebih 13.270 Ha berada di seluruh kecamatan.

Menurut Peraturan Pemerintah No 104 Tahun 2015, diketahui bahwa :

  1. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  2. Hutan Produksi Tetap adalah Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125 (seratus dua puluh lima) di luar kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan Taman Buru.
  3. Hutan Produksi Terbatas adalah Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125 (seratus dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluh empat) di luar kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan Taman Buru.

Lebih lanjut, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lainnya lebih dari 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman tiap Ha. Menurut Peraturan Menteri  No 21 Tahun 2015, menyatakan bahwa setiap hasil hutan hak/hutan rakyat yang akan diangkut dari lokasi tebangan atau tempat pengumpulan disekitar tebangan ke tujuan, wajib dilengkapi Nota Angkutan atau SKAU (Surat Keteranan Asal Usul), yang merupakan dokumen angkutan hasil hutan dari hutan hak yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

Hutan Rakyat di Wonogiri telah mendapatkan sertifikat ekolabel dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) pada tahun 2013. Sertifikat ekolabel adalah sebuah label pada produk yang menunjukkan bahwa produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan hidup.Untuk produk yang bahan bakunya berasal dari sumber daya alam (SDA), sertifikat ekolabel menunjukkan produk tersebut benar-benar berasal dari SDA yang dikelola secara lestari. Sertifikat ekolebel tersebut berupa ertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Kecamatan yang telah mendapatkan sertifikat ekolebel diantaranya adalah :

  1. Kecamatan Batuwarno (Desa Selopuro dan Desa Sumberejo)
  2. Kecamatan Giriwoyo (Koperasi Catur Giri Manunggal)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa baik hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap merupakan hutan milik negara, sehingga masyarakat yang ingin mengelola harus mendapatkan izin HGU.

Dari data RPJM, RTRW, dan Peta PU Kabupaten Wonogiri, dapat diketahui bahwa dari 16 dari 25 kecamatan di Kabupaten Wonogiri termasuk dalam kategori kawasan hutan. Walaupun belum diketahui secara pasti, namun dapat dikatakan bahwa ke 3 kecamatan sumber kayu petani DFC (Kecamatan Eromoko, Kecamatan Jatisrono, Kecamatan Paranggupito) merupakan kecamatan yang memiliki kawasan hutan, baik itu hutan cagar alam, hutan produksi, ataupun hutan rakyat.

Menurut data RPJM dan RTRW, tidak ada satupun dari 3 kecamatan tersebut termasuk dalam kawasan hutan lindung. Hutan lindung merukapakan hutan tetap yang keberadaannya dijaga. Lebih lanjut, Kecamatan Jatisrono bukan termasuk dalam kawasan hutan lindung ataupun hutan produksi, melainkan kawasan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang dikelola dan dimiliki oleh rakyat. Hasil kayu dari hutan rakyat dapat diperdagangkan dengan mencantumkan dokumen berupa nota angkutan atau SKAU (Surat Keterangan Asal Usul).

Kecamatan Eromoko termasuk dalam kawasan hutan produksi tetap dan juga hutan produksi terbatas. Hutan tersebut adalah hutan milik negara, namun masyarakat dapat mengelola jika mendapatkan izin HGU.

 Kecamatan Paranggupito merupakan kawasan Cagar Alam, sehingga fungsinya hampir sama dengan hutan lindung. Penebangan kayu dari hutan di Paranggupito jika tidak mendakatkan HGU adalah dilarang.

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa hasil kayu untuk Petani Mitra DFC berasal dari hutan rakyat, yang secara umum tersebar disemua Kecamatan di Wonogiri.

Kesimpulan dan Saran

  1. Kecamatan Eromoko yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas dan bukan merupakan kawasan hutan lindung.
  2. Kecamatan Paranggupito merupakan kawasan cagar alam geologi.
  3. Kecamatan Jatisrono tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung, dan dimungkinkan termasuk dalam kawasan hutan rakyat yang tersebar disemua kecamatan Kabupaten Wonogiri.
  4. Diperlukan studi lanjut mengenai keterlusuran bahan bakar kayu untuk proses curing DFC. Studi lanjut meliputi survey lokasi sumber kayu, pencarian data MVR / surat jalan, pembuatan dokumentasi untuk penilaian keberlanjutan penggunaan kayu dari hutan dll. Lebih lanjut, menurut informasi dari Petani Mitra dan FT, sangat sulit untuk mendapatkan MVR / surat jalan dari truk pengangkut kayu.

Kecamatan Giriwoyo (Koperasi Catur Giri Manunggal) dan Kecamatan Batuwarno (Desa Selopuro dan Desa Sumberejo) telah mendapakan sertifikat ekolabel, sehingga dimungkinkan kayu yang berasal dari kecamatan tersebut merupakan kayu yang berkelanjutan.